Menuntut Perjuangan dan Pengorbanan

Oleh: Abam Aljawani
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan seluruh alam. Idul Adha kembali hadir dalam kehidupan kita sebagai hari besar penuh keagungan. Inilah Yawm an-Nahr, hari penyembelihan. Hari yang ditetapkan Allah sebagai puncak dari ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya—dengan shalat, takbir, dan pengorbanan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah Hari Raya Kurban.”(HR. Abu Dawud)
Idul Adha bukan sekadar momen menyembelih hewan kurban. Ia adalah representasi dari nilai tertinggi dalam Islam: ketaatan total kepada Allah SWT, meskipun itu menuntut pengorbanan yang menyayat jiwa dan perjuangan tanpa kompromi.
Ketaatan Bukan Sebatas Ritual
Di Hari Raya ini, dunia menyaksikan jutaan Muslim dari seluruh penjuru bumi menyatu dalam satu suara talbiyah: Labbaik Allahumma Labbaik. Sebuah pemandangan yang seharusnya menyadarkan umat ini: bahwa persatuan umat hanya akan terwujud jika kita bersatu di atas tauhid dan syariah Allah SWT. Bukan sekadar slogan ukhuwah, bukan pula persatuan semu dalam batas-batas nasionalisme, tetapi persatuan hakiki di bawah naungan hukum Allah.
Terlalu lama kita menjadikan agama sebatas ibadah personal. Padahal Islam adalah sistem hidup yang sempurna. Lalu mengapa kita hanya taat dalam perkara shalat, puasa, zakat, haji, tetapi mengingkari hukum Allah dalam ekonomi, politik, pemerintahan, dan kehidupan sosial?
Apakah kita lupa firman Allah:
“Apakah kalian beriman kepada sebagian dari al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain?”
(QS. al-Baqarah: 85)
Meneladani Ibrahim AS: Ketaatan Tanpa Tawar-menawar
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah lambang dari ketaatan total. Ia berani menantang penguasa tiran. Ia meninggalkan istrinya dan bayinya di lembah tandus karena perintah Allah. Bahkan, ia rela menyembelih anaknya sendiri jika itulah yang diperintahkan oleh Rabb-nya. Inilah level ketaatan hakiki—tanpa syarat, tanpa tawar-menawar.
Begitu juga Nabi Ismail ‘alaihis salam, tak memberontak sedikit pun saat ayahnya menyampaikan perintah Allah. Ia justru berkata dengan tenang dan penuh keyakinan:
“Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”(QS. ash-Shâffât: 102)
Ketaatan mereka mengandung pesan penting: Islam tidak bisa tegak hanya dengan logika nyaman dan rasionalitas aman. Ia butuh perjuangan. Ia menuntut pengorbanan.
Islam Tidak Akan Jaya Tanpa Pengorbanan
Lihatlah sejarah Islam. Para sahabat rela mengorbankan segalanya untuk menegakkan kalimat tauhid. Mereka tinggalkan rumah, harta, bahkan nyawa demi Islam. Hari ini, kita justru terlalu takut kehilangan pekerjaan, kehilangan posisi, atau dicibir publik jika terang-terangan mendakwahkan Islam kaffah dan memperjuangkan syariah serta Khilafah.
Sungguh ironis. Kita bangga menyembelih kambing di hari kurban, tapi tak sanggup menyembelih ego dan ketakutan kita sendiri demi kemuliaan Islam.
Padahal Allah berfirman: “Sungguh Allah telah membeli dari kaum Mukminin jiwa dan harta mereka dengan surga.” (QS. at-Taubah: 111)
Kalau dulu sahabat menangis karena tidak mampu ikut jihad karena tak punya tunggangan, kini umat justru berlomba menjauh dari perjuangan menegakkan Islam secara total. Mereka anggap perjuangan Khilafah itu utopis, radikal, bahkan terlarang. Padahal itulah mahkota kewajiban, taaj al-furudh, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
Saatnya Taat Total, Bukan Parsial
Sudah saatnya umat ini bertobat dari ketaatan parsial. Taat dalam ibadah, tapi abai dalam sistem. Taat dalam doa, tapi pasrah dalam kezaliman. Umat ini harus bangkit seperti Ibrahim. Berani seperti Ismail. Dan rela berkorban seperti para sahabat.
Idul Adha bukan hanya momentum menyembelih hewan. Ia adalah panggilan spiritual untuk menyembelih semua penghalang ketaatan kepada Allah—rasa takut, dunia, jabatan, bahkan keluarga, jika menjadi penghalang antara kita dan perintah Allah.
Jika kita ingin kehidupan ini diberkahi dan kehinaan umat diangkat, maka kita harus kembali pada Islam secara menyeluruh—baik dalam ibadah, muamalah, politik, ekonomi, pendidikan, hingga negara.
Sebagaimana Nabi Ibrahim dan keturunannya, marilah kita jadikan Idul Adha ini titik balik untuk meneguhkan ketaatan kita secara total kepada Allah SWT, hingga perjuangan kita tak lagi menjadi beban, tapi kemuliaan. Dan pengorbanan kita tak lagi dianggap sia-sia, tetapi pintu menuju surga.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar walillahilhamd.