Ketika Air Hujan Dari Proses Alami Menjadi Potensi Bencana

Oleh: Bambang Irawan
Di awal tahun 2025, dimana hujan yang turun fenomena yang dulu dikenal sebagai “proses alami” kini berubah menjadi “potensi bencana”. Dalam beberapa dekade terakhir, hujan yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi momok, menyebabkan banjir dan longsor di berbagai wilayah. Perubahan yang tadinya terjadi secara perlahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) semakin sering memicu bencana alam akibat ulah manusia dan perubahan iklim.
Curah hujan ekstrem kini kerap mencapai lebih dari 150 mm per hari, terutama dengan kemunculan siklon-siklon yang terjadi secara bersamaan. Hutan yang dulunya mampu menyerap air hujan, kini kehilangan kemampuannya karena deforestasi dan alih fungsi lahan menjadi permukiman atau kawasan wisata. Sungai-sungai yang seharusnya bebas mengalir ke hilir, tersendat oleh bangunan dan permukiman yang menekan kanan kiri alirannya. Embung dan situ yang seharusnya menjadi penampung air justru hilang, diubah menjadi lahan permukiman.
Dampaknya semakin nyata, dengan banjir yang sering terjadi di wilayah hulu dan banjir yang melanda hilir. Di wilayah Lampung, misalnya, fenomena ini makin mengkhawatirkan. Belum lagi di wilayah Kabupaten-kabupaten di provinsi ini memiliki potensi banjir yang mana ada beberapa daerah memiliki topografi yang unik, dengan tanah yang rentan terhadap dua masalah besar: banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Berbagai upaya penanggulangan seperti pembuatan bendungan dan penghijauan hutan belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sementara masyarakat harus berjuang menghadapi genangan air, lumpur, sampah, dan potensi wabah penyakit pasca banjir. Bantuan kemanusiaan yang diberikan pun bersifat sementara, tanpa mengatasi akar masalahnya.
Solusi jangka panjang untuk masalah banjir sering kali hilang begitu banjir surut kembali ke sungai. Padahal, banjir dan longsor membutuhkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, mulai dari hulu hingga hilir, dengan perencanaan jangka panjang selama 20-25 tahun. Sayangnya, kebijakan kerap terjebak dalam kepentingan jangka pendek, sehingga penanganan yang berkesinambungan sulit terealisasi.
Sudah saatnya semua pemangku kepentingan, dari hulu hingga hilir, bekerja bersama dalam satu tim untuk menyelesaikan masalah ini. Diperlukan kolaborasi lintas sektor dan wilayah untuk mencari solusi yang nyata. Ilmu dan perundangan terkait sudah ada, yang kita butuhkan sekarang adalah komitmen untuk implementasi. Program penanaman pohon konservasi, memperbanyak daerah resapan air, membangun bendungan mikro dan makro, memulihkan bantaran sungai, normalisasi, pengelolaan sampah, pembangunan tanggul, hingga pompanisasi harus dilakukan secara terpadu.
Hasil dari semua upaya ini mungkin belum optimal, tetapi kita harus berbesar hati untuk terus memperbaiki dan berinovasi. Jika semua pihak bersatu, semoga banjir dan longsor dapat diatasi, bukan hanya sebagai permasalahan musiman, tetapi dengan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Semoga bermanfaat.