Banjir dan Longsor: Fenomena yang Memerlukan Tindakan Nyata
Oleh: Bambang Irawan
Fenomena banjir dan longsor semakin menjadi momok yang sering kita saksikan, terutama ketika musim hujan tiba. Banjir bukan sekadar masalah aliran air yang meluap dari sungai, dan longsor bukan sekadar tebing yang runtuh, tetapi ini adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai aspek.
Aspek-aspek ini meliputi iklim, penggunaan lahan, hutan di kawasan hulu, pengelolaan lahan di kawasan lereng, hingga pengelolaan drainase di kawasan hilir.
Perubahan iklim dan intensitas curah hujan yang semakin tinggi membuat ancaman banjir semakin nyata. Ketika curah hujan melebihi 50 mm per hari, risiko banjir dan longsor sudah mulai meningkat. Terlebih lagi, curah hujan ekstrem yang mencapai 150 mm per hari dapat dengan cepat menyebabkan genangan dan banjir di berbagai daerah. Siklus hujan yang intens ini menambah beban besar bagi kawasan yang tidak memiliki kapasitas cukup untuk menyerap dan mengalirkan air dengan baik.
Kawasan hulu sungai menjadi sorotan penting. Kerusakan tutupan lahan hutan akibat aktivitas pertanian, penebangan pohon, dan perluasan pemukiman menjadi sumber utama dari berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air. Alih-alih memperbaiki kondisi lingkungan, kawasan ini justru menjadi sumber masalah, yang menyebabkan terjadinya limpasan air dalam jumlah besar menuju sungai. Hal ini meningkatkan debit air di musim hujan dan berkurangnya debit air di musim kemarau, yang sering kali disertai oleh peningkatan sedimen lumpur di sungai.
Di kawasan lereng, masalah runoff atau limpasan air semakin sering terjadi. Jalur air yang tersumbat oleh pembangunan pemukiman atau infrastruktur membuat air tidak dapat mengalir dengan lancar. Tidak jarang, hal ini menyebabkan banjir bandang atau longsor yang menghancurkan pemukiman di tepi lereng. Sayangnya, kesadaran untuk memperbaiki pola pengelolaan lahan ini sering kali baru muncul setelah korban berjatuhan.
Di kawasan hilir, dataran rendah menjadi ‘kolam’ besar yang menampung air yang mengalir dari hulu. Genangan air dapat bertahan berhari-hari, merusak infrastruktur dan pemukiman, serta menciptakan masalah kesehatan dan sosial bagi masyarakat. Sebagai daerah yang paling terdampak, masyarakat di hilir sering kali hanya bisa pasrah, sementara solusi dari pemerintah atau pihak terkait tidak segera datang atau bersifat sementara seperti pemberian bantuan logistik.
Lalu, apa solusi jangka panjang untuk masalah banjir dan longsor ini?
Pertama, kita harus menjaga dan memulihkan kawasan hutan di hulu. Reboisasi dan pengelolaan hutan yang lebih baik sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan resapan air. Kawasan resapan di lahan pertanian perlu ditingkatkan, misalnya melalui pembuatan embung dan bendungan kecil untuk mengurangi limpasan air.
Kedua, penerapan kaidah konservasi pada pertanian semusim harus ditegakkan. Sistem drainase yang baik dan pengaturan pemukiman yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RT/RW) sangat penting untuk mencegah penyumbatan aliran air.
Ketiga, kita membutuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, terutama di kawasan DAS (daerah aliran sungai), yang menjadi penyebab utama tersumbatnya aliran air.
Konsep-konsep ini sebenarnya sudah banyak disampaikan, namun praktik perusakan lingkungan terus berlangsung, baik oleh masyarakat karena tekanan ekonomi, maupun oleh perusahaan besar yang merusak lingkungan secara sistematis. Dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan berbagai pihak untuk mengawal program “Satu Manajemen DAS” yang berkelanjutan dan konsisten.
Pada akhirnya, banjir dan longsor bukan hanya tanggung jawab alam semata, tetapi tanggung jawab kita bersama.
Semoga ini membuka mata banyak pihak untuk segera bertindak, sebelum semakin banyak korban yang berjatuhan akibat kelalaian kita maka untuk itu pentingnya langkah nyata dalam menjaga lingkungan dan mencegah bencana yang lebih besar di masa depan.