Arafah adalah Hari Agung Persatuan dan Pembebasan

Oleh: Abam Aljawani
Setiap 9 Dzulhijjah, jutaan kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Padang Arafah dalam satu pemandangan yang menggetarkan nurani. Tanpa membedakan warna kulit, suku, status sosial, maupun kebangsaan—semua mengenakan pakaian serupa, mengangkat tangan dalam doa, dan berdiri sebagai hamba-hamba yang hina di hadapan Sang Maha Raja. Hari itu disebut Yaumul Arafah, hari pengenalan, hari pengakuan, dan hari pembebasan.
Rasulullah SAW bersabda:“Tidak ada satu hari pun yang lebih banyak Allah membebaskan hamba dari neraka dibandingkan Hari Arafah.”(HR. Muslim)
Inilah hari ketika Allah membuka pintu ampunan selebar-lebarnya. Hari ketika doa tidak tertolak. Hari ketika tangis dan dzikir seorang hamba menjadi saksi keikhlasan dan pertaubatan yang tulus. Yaumul Arafah bukan sekadar hari spiritual personal, tapi ia juga mengandung pesan sosial dan peradaban yang mendalam.
Khutbah Haji Wada Merupakan Risalah Kemanusiaan Universal
Dalam momen yang sama, lebih dari 14 abad lalu, Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah jutaan kaum Muslimin saat itu, menyampaikan khutbah yang akan menjadi warisan terakhirnya kepada umat manusia—Khutbah Haji Wada’.
Beliau membuka dengan pesan monumental:
“Wahai manusia, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci bagi kalian seperti sucinya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini bukan hanya peringatan moral, tetapi juga deklarasi kemanusiaan. Islam datang bukan hanya untuk memperbaiki hubungan antara manusia dan Tuhannya, tetapi juga antar sesama manusia. Hak hidup, hak milik, dan kehormatan pribadi adalah hak suci yang tidak boleh dilanggar. Pesan ini sangat relevan di tengah dunia yang masih menyaksikan konflik berdarah, fitnah media, dan perampasan hak asasi.
Persamaan Derajat dalam Islam
Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan:
“Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, dan bapak kalian satu. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas Arab. Tidak pula bagi orang berkulit putih atas yang berkulit hitam, kecuali karena takwa.”
Ini adalah piagam anti-diskriminasi yang sejati, jauh sebelum piagam HAM modern dicetuskan.
Rasulullah SAW menyuarakan bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama: satu Tuhan dan satu nenek moyang. Kemuliaan bukan karena etnis, ras, status ekonomi, atau keturunan, tapi karena taqwa—kesadaran yang tinggi terhadap Allah dan keadilan.
Relevansi Hari Arafah untuk Umat dan Bangsa
Dalam konteks kebangsaan kita, pesan Yaumul Arafah dan Khutbah Wada’ mengajarkan bahwa bangsa ini hanya bisa berdiri kokoh bila dibangun atas nilai-nilai ilahiah,yang lebih manusiawi, keadilan sosial, persaudaraan, dan ketakwaan. Di tengah perbedaan suku, agama, dan latar belakang sosial, bangsa Indonesia dapat menjadikan semangat Arafah sebagai pengikat batin dan arah perjuangan bersama.
Hari Arafah bukan hanya milik mereka yang berhaji. Bagi umat Islam di seluruh dunia, hari itu adalah momentum muhasabah, dzikir, dan doa. Disunahkan untuk berpuasa, berdoa sepanjang hari, dan memperbanyak kalimat tauhid.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik doa adalah doa pada Hari Arafah. Dan sebaik-baik yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah: Lā ilāha illallāh, waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr.”(HR. Tirmidzi)
Kembali ke Arafah Jiwa
Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk, Hari Arafah menjadi oase spiritual dan manifesto persatuan. Di sinilah letak ajaran Islam yang hakiki: membangun peradaban yang luhur dari hati yang tunduk dan jiwa yang bertakwa. Mari kita jadikan Arafah sebagai tempat kembali—Arafah dalam jiwa, tempat kita mengenal diri, menyadari dosa, dan merajut kembali tali persaudaraan.
Wallāhu a’lam.